Lingkungan sekolah layaknya menjadi tempat yang nyaman bagi siswa untuk belajar. Sekolah sejatinya menjadi sebuah tempat favorit bagi siswa dalam mengekspresikan kemampuannya.
Di sekolah juga siswa dapat bersenda gurau dan bermain dengan teman-temannya. Dengan demikian akan terbentuk suasana yang aman, nyaman, dan menyenangkan untuk belajar.
Akan tetapi, hal tersebut menjadi sebuah khayalan belaka ketika marak sekali kasus perundungan yang terjadi di sekolah.
Perundungan di sekolah didefinisikan sebagai perilaku agresif yang disengaja yang terjadi berulang kali antara korban dan pelaku karena ketidakseimbangan kekuatan (Olweus, 2013).
Sekolah yang sejatinya difungsikan sebagai tempat yang menyenangkan untuk belajar menjadi tercoreng dengan banyaknya kasus perundungan yang terjadi.
Data mencatat dari FSGI (Federasi Serikat Guru Indonesia) kasus perundungan yang terjadi di sekolah ada pelaku perundungan didominasi oleh 87 peserta didik (92,5%), sisanya dilakukan oleh pendidik yaitu sebanyak 5 pendidik (5,3%), dan 1 orang tua peserta didik, (1,1%) dan 1 kepala madrasah (1,1%).
Dengan demikian korban terbesar adalah peserta didik yaitu 95,45% dengan pelaku perundungan terbanyak juga peserta didik sebanyak 92,5%.
Kasus terparah adalah penusukan yang dilakukan siswa korban perundungan kepada siswa yang diduga kuat melakukan perundungan di salah satu sekolah SMA di Samarinda.
Secara global (UNESCO 2019) menyatakan bahwa hampir sepertiga siswa pernah mengalami kasus perundungan di sekolah sebulan terakhir.
Dampak Psikologis Perundungan
Berdasarkan data dari ruang praktik psikologi banyak sekali pasien datang dengan berbagai macam keluhan seperti, perasaan kesepian, pendiam daripada biasanya, merasa diasingkan, menarik diri dari pergaulan, tidak mau berangkat sekolah, prestasi menurun, menyilet tangannya sendiri, bahkan yang lebih parah sudah ada yang melakukan percobaan bunuh diri.
Keluhan-keluhan tersebut banyak disebabkan oleh pengalaman perundungan dari tingkat SD hingga kuliah.
Hal ini diperkuat oleh data KPAI pada tahun 2022 yang menyatakan ada 226 kasus kekerasan fisik, psikis termasuk perundungan.
Ini adalah data yang cukup besar dan memerlukan kerja sama berbagai pihak untuk mengatasinya.
Sepertinya kasus perundungan dalam kenyataan sulit untuk diikuti tetapi kita dapat menonton kisah salah satu korban perundungan yang menyimpan dendam dalam sebuah kisah drama korea The Glory di mana korban perundungan mendedikasikan seluruh hidupnya untuk membalas dendam.
Melihat hal tersebut, betapa dahsyat trauma yang ditimbulkan oleh tindakan perundungan ini. Korban perundungan akan mengalami rasa sakit secara fisik dan psikis, guncangan psikologis, trauma bahkan gangguan jiwa.
Perundungan jika tidak ditangani secara tepat dan serius akan berdampak pada masalah psikologis dan mengarah pada perilaku seperti kecemasan dan emosi (Eyubogluet al., 2021).
Selanjutnya dalam beberapa tahun penelitian pada remaja telah ditemukan bahwa agresi impulsif dapat dikaitkan dengan stres lingkungan yang lebih tinggi (Liu et al., 2018).
Apa yang harus Dilakukan jika Perundungan Terjadi di Sekolah?
Langkah pertama yang bisa dilakukan adalah melalui respon guru dengan mengidentifikasi siapa saja yang terlibat yaitu korban, pelaku, dan penonton (bystanders).
Seperti kita ketahui masing-masing perundungan memiliki kekhasan masing-masing maka dibutuhkan pendekatan khusus terhadap setiap pihak.
Guru bimbingan konseling dapat mengelola layanan responsif yaitu mendengarkan dan merespon dengan penuh empati.
Mengelola emosi menjadi kunci untuk merespon cerita korban dengan lebih bijak tanpa menghakimi, memarahi ataupun menyalahkan korban perundungan.
Penting juga untuk meyakinkan korban bahwa perundungan bukanlah salahnya dan tempatkan guru ada di sisi korban sehingga korban tidak merasa sendirian.
Selain itu guru dapat memberi dukungan dengan menanyakan apakah korban membutuhkan pendampingan, perawatan luka fisik, dukungan psikologis, atau kebutuhan lainnya.
Langkah selanjutnya adalah membuat catatan dengan menggunakan pertanyaan berikut ini.
1. Apa bentuk perundungannya?
2. Kapan terjadinya perundungan?
3. Siapa yang melakukan perundungan?
4. Apakah ada yang menyaksikan perundungan?
5. Bagaimana perundungan terjadi?
6. Kenapa perundungan terjadi?
Catatan kronologi yang dilakukan guru bersifat rahasia dan jika dibutuhkan untuk penanganan kasus yang lebih ke pihak lain harus dilakukan berdasarkan persetujuan korban.
Selanjutnya adalah melakukan klarifikasi dari cerita tersebut disertai dokumentasi bukti kejadian atau kasus.
Hal ini, perlu dilakukan untuk mencegah berbagai kemungkinan yang terjadi.
Selanjutnya, guru menganalisis masalah dan mampu menentukan Tindakan apa yang tepat dalam kasus perundungan yang sedang ditangani.
Hal ini dilakukan untuk mengetahui apakah bisa kasus tersebut diselesaikan secara internal atau membutuhkan rujukan kepada pihak lain seperti orang tua, Puskesmas, P2TP2A, UPTD PPA (Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak), dan Kepolisian.
Perundungan bisa terjadi akibat adanya efek domino, dalam arti hal ini disebabkan oleh perundungan yang terjadi sebelumnya.
Pelaku perundungan bisa juga adalah anak yang telah berjuang menghadapi perilaku di masa lalu dengan perasaan rendah diri, kecemasan, atau perasaan tidak nyaman lainnya.
Pelaku juga menjadi agresif terhadap orang lain mengira dapat memberikan kepuasan dan kontrol yang mungkin tidak bisa ia penuhi sebelumnya.
Guru harus mendengarkan apa yang disampaikan pelaku perundungan dengan baik apalagi pelaku perundungan masih di bawah 18 tahun yang belum mempunyai kekuasaan penuh atas dirinya.
Guru harus bisa mengelola emosi agar pelaku tidak takut menceritakan kejadian dan apa yang pelaku lakukan bahkan sebelum terjadinya perundungan.
Jika guru tidak bisa mengatasi hal tersebut maka guru dapat meminta bantuan tenaga ahli untuk berkomunikasi dengan pelaku.
Guru dan siswa seharusnya bisa memetakan masalah dengan peserta didik dan mengajak pelaku untuk memahami dari sudut pandang korban dan secara aktif berefleksi bahwa yang pelaku lakukan adalah perbuatan yang kurang bijak dan dapat berdampak buruk bagi dirinya dan orang lain.
Guru dapat mencoba memberikan konsekuensi yang ditanggung pelaku dan konsekuensi ini harus sesuai dengan apa yang ia lakukan dan bersifat proporsional.
Hal ini dilakukan untuk mencegah pelaku melakukan kesalahan yang sama di kemudian hari. Satu hal yang tidak boleh dilewatkan adalah mengajak pelaku untuk berani meminta maaf dan melakukan rekonsiliasi disertai dengan pertanggungjawaban seperti menjahit baju yang dirusak temannya.
Adapun penonton atau bystanders dapat memberikan keterangan terhadap bersama-sama mendampingi korban. Biasanya bystanders ini sendiri yang melaporkan adanya tindakan perundungan di sekolah. Guru perlu mengapresiasi apa yang dilaporkan bystanders dan menanyakan apakah siswa yang menjadi penonton ini mengalami trauma atau tidak.
Langkah terakhir dan tidak kalah penting adalah guru perlu melakukan pengawasan secara berkala terhadap setiap pihak yang terlibat perundungan. Hal ini penting dilakukan mengingat tindakan perundungan bisa saja terjadi lagi di antara pelaku dan korban ataupun sebaliknya.
Maka dengan demikian diperlukan komitmen guru dan kerjasama dengan berbagai pihak agar perundungan tidak terjadi lagi.
Tindakan Pencegahan Perundungan di Sekolah
Dalam hal ini sekolah harus mengencangkan ikat pinggang untuk mencegah tindakan perundungan di sekolah.
Tidak boleh memandang sebelah mata mengenai masalah sebesar ini. Tindakan perundungan yang dibiarkan akan semakin menimbulkan dampak yang kurang baik bagi psikologis siswa.
Selanjutnya, sekolah juga harus memiliki program-program jitu agar perundungan tidak marak terjadi. Selain itu, pihak sekolah juga harus bekerja sama dengan berbagai pihak agar mencapai hasil yang optimal.
Salah satu program yang dilakukan di sekolah adalah sekolah dapat membuat sistem pelaporan kasus yang melibatkan guru bimbingan konseling dana menyediakan layanan pengaduan kekerasan atau pelaporan bullying yang mudah diakses siswa.
Layanan ini dapat berupa layanan telepon, layanan lapor via aplikasi dan layanan pengirim pesan seperti whatsapp, telegram, line, atau situs sekolah.
Selain layanan yang disediakan sekolah pengaduan dapat dilakukan ke portal lapor yang disediakan Kemendikbud Ristek yang dapat diakses oleh seluruh lapisan masyarakat.
Layanan ini dapat diakses melalui tautan https://kemdikbud.lapor.go.id. Laporan pengaduan ini bisa disosialisasikan di dalam bentuk poster di sekolah.
Program selanjutnya adalah membuat kebijakan anti perundungan atau bullying dan sekolah harus memastikan bahwa di dalam Prosedur Operasi Standar (POS) terdapat aspek identifikasi, edukasi, pencegahan, penanganan, dan evaluasi.
Sekolah juga penting mengedepankan aspek pembinaan dibandingkan aspek logika hukum karena aspek pembinaan berhubungan dengan sekolah yang berfungsi sebagai ruang aman bagi korban.
Sekolah sangat bisa menghadirkan dukungan seperti layanan responsif, mendapatkan sesi konseling ruting, tetapi pada kasus yang berat dapat berkoordinasi dengan orang tua dan penegak hukum.
Dalam hal ini guru merupakan contoh dan panutan bagi siswanya, maka penting bagi guru untuk memberi contoh teladan anti kekerasan di sekolah.
Menjadi contoh baik bagi siswa bukan sebuah tugas tambahan bagi guru tetapi merupakan kewajiban.
Guru dapat menyelipkan sosialisasi mengenai anti bullying dalam pembelajaran di kelas, berdialog dengan siswa mengenai sosialisasi pencegahan perundungan, guru tidak menunjukan keberpihakan pada salah satu siswa, menerapkan prinsip tidak ada kerugian yang didapatkan jika kita berbuat baik pada sesama teman.
Terakhir, guru harus meyakini bahwa kehadiran yang bermakna dari seorang pendidik secara konsisten pada siswanya dapat memberikan dampak positif terhadap hubungan antar siswa.
Referensi
Eyuboglu, M., Eyuboglu, D., Pala, S. C., Oktar, D., Demirtas, Z., Arslantas, D., et al. (2021). Traditional school bullying and cyberbullying: prevalence, the effect on mental health problems and self-harm behavior. Psychiatry Res. 297:113730. doi: 10.1016/j.psychres.2021.113730
Liu, X., and Liu, X. W. (2021). The relationship between negative life events and children’s reactive aggression: a structural equation model with multiple mediating variables. Stud. Psychol. Behav. 19, 82-88.
Olweus, D. (1993). Bullying at School: What We Know and What We Can Do. Oxford: Blackwell.
Penulis: Rinrin Rianti
Mahasiswa S-2 PBSI IPI Garut