Saat pandemi covid-19 keberadaan pondok pesantren banyak diminati oleh para orang tua, mereka berbondong-bondong mendaftarkan anak-anaknya ke sekolah berbasis pesantren.
Hal tersebut dikarenakan sekolah yang bukan berbasis pesantren menerapkan pembelajaran daring secara full.
Sedangkan di pondok pesantren, masih menerapkan pembelajaran tatap muka langsung tapi dengan menerapkan protokol kesehatan.
Kurikulum di sekolah yang berbasis pondok pesantren diajarkan ilmu-ilmu keagamaan seperti Kitab Kuning, Tahfidz, Tilawatil Quran, tasawuf, akidah, fikih, dan lain-lain.
Selain ilmu-ilmu keagamaan, diajarkan pula ilmu pengetahuan formal pada umumnya, misalnya Bahasa Indonesia, PKN, Bahasa Inggris, Matematika, Ilmu alam, Ilmu Sosial, dan lain-lain.
Karena mata pelajaran tersebut sangat dibutuhkan pada kehidupan sehari-hari. Terutama matematika, ilmu tersebut dibutuhkan santri baik saat menimba ilmu ataupun setelah lulus nanti.
Misalnya materi Barisan dan Deret dikaitkan dengan zakat hewan ternak, materi Aljabar dengan ilmu hukum waris, dalam jual beli, perbankan, menentukan bulan-bulan penting dalam Islam (Ramadhan), logika, berpikir, pengamatan, ketelitian, membuat dugaan, keberanian dalam mencoba, dan kesabaran dan lain-lain.
Tetapi sangat disayangkan, matematika masih dipandang sebelah mata oleh sebagian santri. Mereka menganggap bahwa matematika tidak penting untuk dipelajari.
Sehingga dalam mempelajari matematika hanya untuk memenuhi kewajiban saja dan tidak ada motivasi untuk mendalami matematika secara luas dan dalam.
Adanya kesenjangan perhatian yang terjadi pada mata pelajaran matematika dan ilmu keagamaan ini, mengakibatkan santri malas belajar matematika dan akhirnya kurang serius ketika belajar matematika, baik ketika di kelas maupun dalam mengerjakan tugas.
Sehingga nilai matematika santri sangat mencemaskan karena selalu dibawah batas minimal ketuntasan.
Diperlukan sebuah upaya untuk meningkatkan motivasi santri dalam mempelajari matematika, salah satunya dengan memberikan soal cerita. Karena matematika ilmu yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari.
Dengan soal cerita dapat mengembangkan keterampilan matematika siswa. Selain itu soal cerita juga dapat memperkuat pemahaman siswa terhadap konsep matematika.
Pada penyelesaian soal cerita matematika, siswa harus melaksanakan langkah- langkah yang terstruktur dan logis.
Berdasarkan hasil wawancara dengan guru matematika kelas IX di MTs. At-Taufiq Pameungpeuk, masih ada santri kesulitan dalam mengerjakan soal cerita.
Disebabkan karena tidak mampu merubah soal cerita kedalam kalimat matematika. Mereka kesulitan dalam mengidentifikasi apa yang diketahui dan yang ditanyakan dari soal cerita.
Selain itu langkah-langkah penyelesaian soal cerita siswa tidak sistematis, akibatnya menjadi kendala dalam proses pengerjaannya. Kendala tersebut bisa diatasi dengan Langkah-langkah kemampuan pemecahan masalah.
Kemampuan pemecahan masalah menurut Polya, terdapat empat tahapan yang penulis rangkum diantaranya meliputi kemampuan mengidentifikasi unsur-unsur yang diketahui dan ditanyakan, membuat rencana pemecahan masalah (pemodelan matematika).
melaksanakan rencana pemecahan masalah dan mengecek kebenaran atas jawaban yang telah dikerjakan. Dengan tahapan Polya ini, santri dapat mengerjakan soal secara struktur dan sistematis.
Dengan demikian dengan memberikan soal cerita diharapkan dapat meningkatkan motivasi santri dalam mempelajari matematika, soal cerita merupakan salah satu komponen masalah kontekstual dianggap mampu membangun motivasi santri.
Hal ini karena soal cerita itu bersifat konkret sedangkan soal yang bersifat konkret sangat disukai oleh santri, sehingga bisa meningkatkan minat santri dalam mempelajari matematika.(*)
Penulis : Regar Esa Nugraha