WARTAGARUT.COM – Penjabat (Pj) Bupati Garut, H. Barnas Adjidin, menekankan pentingnya keterlibatan masyarakat dalam melindungi perempuan dan anak dari tindak kekerasan.
Pj Bupati Garut H. Barnas Adjidin menegaskan bahwa kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak menjadi perhatian serius, tidak terkecuali di Kabupaten Garut.
Ia meyakini bahwa sosialisasi tentang perlindungan ini sangat krusial untuk mengajak seluruh lapisan masyarakat memahami kepentingan perlindungan terhadap perempuan dan anak.
“Meskipun sudah diatur dalam aturan, mereka harus tetap dilindungi dan diberdayakan untuk mengambil langkah-langkah positif dalam pembangunan, khususnya di Garut,” ujar Pj. Bupati Garut.
H. Barnas Adjidin menyatakan komitmen untuk bekerja sama dengan Polres Garut dalam hal pelaporan terkait kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Masyarakat diimbau untuk melaporkan kejadian tersebut melalui nomor telepon yang akan disediakan.
“Masyarakat perlu memahami apa yang perlu dilaporkan. Kami akan menjaga kerahasiaan pelapor untuk keamanannya,” tegasnya.
Pendidikan mengenai perlindungan perempuan dan anak, kata Barnas, harus dimulai dari lingkungan keluarga, sekolah, hingga lingkungan kerja.
“Di sekolah, anak-anak akan diberikan edukasi agar dapat melaporkan jika mengalami kekerasan, termasuk dari orang tua,” lanjutnya.
H Barnas Adjidin menekankan fokusnya pada upaya memastikan anak-anak di Kabupaten Garut dapat tumbuh sehat dan perempuan memiliki pemberdayaan dari segala aspek.
Kepala DPPKBPPPA Garut, Yayan Waryana, mengatakan, acara ini turut dihadiri oleh Forum Anak Daerah (FAD) Garut, Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia, Pusat Pembelajaran Keluarga (PUSPAGA), kader-kader institusi masyarakat pedesaan di Tim Percepatan Penurunan Stunting (TPPS), kader TP PKK, dan beberapa tamu undangan lainnya.
Selain itu, Yayan juga melaporkan bahwa tim pendamping keluarga di Kabupaten Garut saat ini berjumlah hampir mencapai 5.960 kader yang tersebar di 42 kecamatan.
Salah satu narasumber kegiatan ini, Prof. Dr. Ikeu Kania dari Universitas Garut, mengungkapkan, kekerasan terhadap perempuan dan anak kerap terjadi.
Dirinya selaku civitas akademika tidak bisa hanya berpangku tangan atau hanya berdiam diri, namun ingin bergerak bersama-sama menurunkan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak.
“Sebab bagaimana pun, perempuan dan anak ini kan masuknya di kelompok rentan gitu ya, sering terjadi atau tidak berdaya gitu, bahkan jadinya sebagai objek begitu ya yang sering dilakukan diskriminasi dan lain-lain,” katanya.
Prof. Ikeu mengungkapkan, seluruh pihak harus dapat turun dalam mengatasi permasalahan kekerasan terhadap perempuan dan anak ini. Ia menuturkan, pencegahan maupun penanganan masalah ini tidak bisa ditangani secara parsial, namun harus dikerjakan secara bersama-sama.
“Jadi saya mengajak kepada seluruh unsur untuk sama-sama karena ini adalah kota Garut, kota kita begitu ya, siapa lagi yang akan peduli kalau bukan kita,” tandasnya.
Kepala Bidang Pemberdayaan Perempuan DPPKBPPA Kabupaten Garut, Iryani, mengungkapkan, jumlah korban kekerasan terhadap perempuan di Kabupaten Garut pada tahun 2022 sebanyak 18 kasus, terdiri dari 8 kasus KDRT, 2 kasus kekerasan psikis, 3 kasus kekerasan seksual, 1 kasus penganiayaan, 2 kasus penelantaran, 1 kasus kekerasan berbasis IT, dan 1 kasus dugaan TPPO.
Di tahun 2023 sendiri, jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan di Kabupaten Garut meningkat sebesar 100% yaitu 36 kasus, terdiri dari 12 kasus kejahatan seksual, 4 kasus perilaku sosial menyimpang/sodomi, 2 kasus hak asuh, 8 kasus fisik/psikis, 2 kasus pornografi, 8 kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)
Sementara itu, untuk jumlah korban kekerasan terhadap anak di Kabupaten Garut pada tahun 2022 adalah berjumlah 39 kasus, yang terdiri dari 17 kasus seksualitas, 10 kasus perebutan hak asuh anak, 2 kasus perkelahian, 2 kasus pelecehan seksual, 3 kasus kekerasan KRDT, 1 kasus mencuri, 2 kasus bullying, 1 kasus penelantaran, dan 1 kasus melukai diri sendiri.
Di tahun 2023 sendiri, terjadi peningkatan kasus sebesar 233% yaitu berjumlah 130 kasus, diantaranya yaitu 59 kasus kejahatan seksual, 12 kasus persetubuhan, 5 kasus kenakalan remaja, 29 kasus perilaku menyimpang/sodomi, 10 kasus hak asuh, 5 kasus fisik/psikis, 2 kasus hak pendidikan, 2 kasus penyalahgunaan NAPZA, 1 kasus bullying, 1 kasus TPPO, 2 kasus pornografi, 1 kasus dituduh mencuri, 1 kasus trafficking.