WARTAGARUT.COM – Dalam upaya menegakkan keadilan bagi korban kekerasan seksual, Kejaksaan Negeri Garut menerima pembayaran restitusi sebesar Rp106.335.796 dari terpidana dr. Muhammad Syafril Firdaus Bin Yulinar Firdaus, seorang dokter kandungan yang terbukti melakukan tindak pidana kekerasan seksual.
Penyerahan dilakukan pada Selasa, 28 Oktober 2025, di kantor Kejaksaan Negeri Garut.
Tim Jaksa Penuntut Umum yang terdiri dari Dr (C) Helena Octavianne, S.H., M.H., CSSL., CCD., Fiki Mardani, S.H., Anisa Dwiliana, S.H., dan Muhammad Ridwan Rais, S.H., menerima langsung pembayaran tersebut untuk disalurkan kepada lima korban sesuai hasil penilaian Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
Total restitusi sebesar Rp106 juta itu dibagikan secara proporsional:
Korban DS menerima Rp28.700.000
Korban AED menerima Rp14.880.256
Korban APN menerima Rp19.650.540
Korban AI menerima Rp30.766.000
Korban ES menerima Rp12.339.000
Pembayaran dilakukan melalui transfer ke rekening masing-masing korban untuk memastikan akurasi dan menghindari potensi penyimpangan. LPSK menyebut, jumlah restitusi ini termasuk besar dalam kasus kekerasan seksual di Indonesia.
Sebelumnya, pada 21 Agustus 2025, Jaksa Penuntut Umum menuntut terpidana membayar restitusi berdasarkan Laporan Penilaian LPSK Nomor 5935/P.BPP-LPSK/IV/2025 dan R-5228/4.1.IP/LPSK/08/2025, yang kemudian dikuatkan oleh putusan Pengadilan Negeri Garut pada 2 Oktober 2025.
Kepala Kejaksaan Negeri Garut, Dr (C) Helena Octavianne, S.H., M.H., CSSL., CCD, yang juga dikenal sebagai pelopor Posko Akses Keadilan bagi Perempuan, Anak, dan Disabilitas, menegaskan pentingnya restitusi sebagai bentuk pemulihan martabat korban.
“Restitusi bukan sekadar ganti rugi finansial, tetapi bentuk pengakuan negara atas penderitaan dan pemulihan martabat korban kekerasan seksual,” ungkap Helena.
Ia menambahkan, selama ini fokus hukum sering hanya menjerat pelaku, sementara pemulihan korban kerap terabaikan.
Melalui restitusi, Kejaksaan ingin memastikan keadilan tidak berhenti pada vonis penjara, tetapi juga memberikan pemulihan nyata kepada korban yang mengalami trauma panjang, luka fisik, dan dampak sosial.
Langkah ini menjadi simbol semangat Sumpah Pemuda dalam memperjuangkan keadilan yang berperspektif korban, sekaligus menegaskan peran aktif Kejaksaan dalam mengimplementasikan UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.***
Penulis : Soni Tarsoni















